Fenomena agama adalah fenomena
universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang
menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama.
Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama,
hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga
kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang
penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang
masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya.
Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu
masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan.
Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas
sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu
fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan
agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali
praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin
ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan
antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik
ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang
dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah
sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan
antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada
dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan
realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu
berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga
memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam
wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia.
Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan
manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi
Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi
manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang
direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan
interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan
budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat
menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu
masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan
Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh
budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama
yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan
penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama
sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Perdebatan dan perselisihan dalam
masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan
merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan
kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang
hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan
suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah
interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan
kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan
keragaman masalah sosialnya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang
mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi
mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami
perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan
komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya
antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi
sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa
pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena
konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan
simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam Islam
juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama
Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami
manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam
kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para
antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan
membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau
mystical event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari
yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan
teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang
terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Penjelasan lain misalnya yang
diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat
solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama
dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa
agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula
bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga
menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk memahami
agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa kajian
tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.
Dengan demikian memahami Islam yang
telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami
manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan
yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari
keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh
karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat
untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah
dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari
keberagamaan manusia.
Di Indonesia usaha para antropolog
untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali
karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an
menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia
khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya
trikotomi-abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah
mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara
agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus
interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz
telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi
antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang
mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan
kritik terhadap wacana Geertz.
Pandangan trikotomi Geertz tentang
pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap
cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan
Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial
politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz
mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada
realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok
abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat
yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi
yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda.
Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan,
priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang
memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Teori politik aliran ini, menurut
Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara
agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk
memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis)
pengelompokkan religio-sosial di Indonesia . Pengelompokkan sosial
tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang lebih luas di Indonesia .
Karya Geertz ini disebut untuk
sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah
berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat
secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara
agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang
sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi
antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan
diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan
budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.
Kepentingan untuk melihat agama dalam
masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang
berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan
apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah
kerangka "desconstruction theory", mereka bersepakat tentang
bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah
kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik,
misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama
dengan klaimnya The End of History and the Last Man, globalisasi berarti adalah
diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang laik dipakai.
Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah membuktikan
bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat telekomonukasi
dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi telah
mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka
yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi
mengimplikasikan makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog
antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau
memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford
tentang runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim suatu kenyataan dengan
ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal"
di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga
menyatukan budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan
dunia, menjadi sangat penting.
Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa
globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialog antarkebudayaan yang ada
di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang
mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi
demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa
budaya-budaya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi.
Bassam Tibbi tidak menafikan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara
penafsiran demokrasi di Barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya
Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic Democracy).
Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang
disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu
sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk
menelorkan yang ia sebut sebagai "international morality", suatu
sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya
yang ada.
Jika kembali pada persoalan kajian
antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat
dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu
mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada
pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara
empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada
dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi
keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan
yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus
diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka
pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari
pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi
kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of
meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek
esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip
Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web)
kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu.
Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern
of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol
yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang
kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam
tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di
ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dipandang dari makna kebudayaan yang
demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam
simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai
ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai
"tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga
aspek moral maupun estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan
karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku
kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang
hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos
telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa
memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh
manusia.
Kajian antropologi juga memberikan
fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya
dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan
menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan
cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan
budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan
kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu
gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai "international
morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.
0 komentar:
Posting Komentar